KESEHATAN MENTAL
Terapi Perilaku Kognitif pada
Pelaku dengan Kecenderungan Bunuh Diri
Osa Dyahayu Kalmudojati
16513796
2PA08
UNIVERSITAS GUNADARMA
BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan makalah ini merupakan
pemaparan mengenai Terapi Perilaku Kognitif yang diberikan kepada pelaku dengan
kecenderungan bunuh diri. Pada kehidupan sehari-hari sangat
banyak pemicu untuk melakukan perilaku yang menyimpang. Penyimpangan itu dapat
terjadi karena faktor-faktor lingkungan yang mendukung. Seperti halnya yang
sering terjadi di lingkungan kita adalah peristiwa bunuh diri. Memang ada jarak
antara timbul keinginan untuk bunuh diri sampai perbuatan itu dilakukan, bisa
beberapa hari, beberapa minggu sampai beberapa tahun. Semakin maraknya masalah
yang ada di lingkungan kita, semakin tinggi pula tingkat pelaku bunuh diri.
Pelaku bunuh diri biasanya disebabkan karena beberapa hal, seperti: gangguan
jiwa (depresi, schizophrenia, penyalahgunaan zat, dll); putus asa, karena
penyakit yang tidak sembuh-sembuh; jalan buntu, karena tidak bisa menyelesaikan
masalah sulit yang sedang dihadapi; rasa bersalah yang berlebihan, sehingga
merasa tidak ada ampunan bagi dirinya dan yang terakhir adalah yakin bahwa mati
lebih baik daripada hidup di dunia.
Banyak faktor yang mengakibatkan orang
beresiko untuk melakukan bunuh diri, seperti usia diatas 45 tahun, pria,
wanita, tidak melakukan perkawinan, pengangguran, hubungan sosial yang buruk,
berasal dari keluarga yang berantakan, penyakit fisik yang tidak sembuh-sembuh,
menyalahgunakan alkohol, depresi berat, sakit jiwa berat, gangguan kepribadian,
putus asa, sering memikirkan untuk bunuh diri, sering melakukan percobaan untuk
bunuh diri, suka menyalahkan diri sendiri, pengendalian emosi yang buruk, dan
sanak keluarga tidak peduli. Adapun keberhasilan pelaku yang pernah melakukan
bunuh diri, sebagai contoh: anak di bawah sepuluh tahun terjun dari gedung
lantai 26, remaja gantung diri di pintu kamar mandi dan wanita minum racun
serangga, pria gantung diri dengan kabel listrik.
Pada kasus bunuh diri tersebut maka para
pelaku membutuhkan peran seorang Psikolog untuk membantu menyelesaikan
masalahnya. Psikolog dapat menemukan penyebab dari aksi bunuh diri tersebut
dari pendekatan dengan pelaku. Psikolog juga memiliki beberapa cara penyembuhan
antara lain dengan terapi. Salah satu terapi yang bisa dilakukan pada pelaku bunuh
diri adalah Terapi Perilaku Kognitif untuk
menyadarkan apa yang telah dilakukan oleh pelaku. Terapi Perilaku Kognitif adalah
penanganan yang dilakukan untuk menghilangkan perilaku tertentu dengan
mengawasi dan merubah proses belajar si penderita dengan cara merekonstruksi
pikirannya. Terapi Perilaku Kognitif juga digunakan untuk gangguan fobia,
gangguan kompulsif, disfungsi seksual, diviasi seksual dan gangguan jiwa ringan
lainnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memaparkan bahayau bunuh diri, mendeskripsikan apa itu bunuh diri dan terapi
perilaku. selain itu juga untuk memahami hal-hal yang menjadi penyebab kasus
bunuh diri, memberitahu pembaca tentang penanganan psikologis yang perlu
dilakukan untuk kasus tersebut dan memahami langkah-langkah terapi perilaku
kognitif.
Manfaat dari
penelitian ini adalah penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi bagi yang membutuhkan, khususnya untuk orang-orang yang ingin lebih
mendalami ilmu psikologi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Teori
Tentang Kecenderungan Bunuh Diri
1. Teori
Agresi
a. Agresi
Emosional, disebabkan karena adanya emosi. Agresi emosional ini bersifat
reaktif. Agresi ini terjadi sebagai jawaban atas tantangan, rasa nyeri,
ancaman, atau kekecewaan tertentu. Rangsangan ini menyebabkan otak dan zat
kimia pembawa berita (yang dikenal sebagai hormon) memerintah jantung agar
memompa lebih cepat dan mengirimkan lebih banyak darah degan makanan dan zat
asam ke otot. Telapak tangan menjadi berkeringat, muka memerah karena marah dan
jika naiknya emosi tak terkendali akan terjadilah suatu tindakan agresi.
b. Agresi
Instrumental, pada agresi ini tidak perlu disertai kemarahan dan terjadi dalam
keadaan hati yang tenang. Agresi ini sebagai alat, sesuai dengan tujuan akhir
perilaku itu.
2. Teori
Lingkungan
Inti dari teori
lingkungan adalah perilaku agresi merupakan reaksi terhadap peristiwa atau
stimulus yang terjadi di lingkungan.
a.
Teori frustrasi
agresi klasik, yaitu agresi dipicu oleh frustrasi. Frustrasi artinya adalah
hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan
b.
Teori Frustrasi
Agresi Baru, yaitu
frustrasi menimbulkan kemarahan dan emosi, kondisi marah tersebut memicu agresi. Marah timbul jika sumber
frustrasi dinilai mempunyai alternatif
perilaku lain daripada yang menimbulkan frustrasi itu.
c.
Teori Belajar
Sosial, yaitu lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura, tokoh
teori ini menyebutkan bahwa perilaku agresi, perbuatan berbahaya, perbuatan
yang tidak pasti dapat dikatakan sebagai hasil bentuk dari pelajaran perilaku
sosial. Dikatakan bahwa agresi dapat dibentuk hanya dengan meniru perilaku
agresi orang lain.
d.
Teori Kognitif, memusatkan pada proses
yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi) pemberian
sifat-sifat (atribusi), penilaian dan pembuatan keputusan. Sekitar 800.000
hingga satu juta orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, sehingga bunuh
diri menduduki posisi ke-10 sebagai
penyebab kematian terbesar di dunia. Angka bunuh diri tercatat lebih banyak dilakukan
oleh pria ketimbang wanita, dengan kemungkinan tiga sampai empat kali lebih
besar seorang pria melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Tercatat ada
sekitar 10 hingga 20 juta kasus percobaan bunuh diri
yang gagal setiap tahun. Percobaan bunuh diri semacam ini
lebih sering dilakukan remaja dan kaum hawa.
B.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perilaku Kecenderungan Bunuh Diri
1. Gangguan
Jiwa, gangguan jiwa seringkali terjadi pada seseorang saat melakukan bunuh diri
dengan angka kejadian berkisar antara 27% hingga lebih dari 90%. Orang yang
pernah dirawat di rumah sakit jiwa memiliki risiko melakukan tindakan bunuh
diri yang berhasil sebesar 8.6% selama hidupnya. Sebagian dari orang yang
meninggal karena bunuh diri bisa jadi memiliki gangguan depresi mayor. Orang
yang mengidap gangguan depresi mayor atau salah satu dari gangguan keadaan jiwa
seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi, hingga mencapai 20 kali
lipat, untuk melakukan bunuh diri. Kondisi lain yang turut terlibat adalah
schizophrenia(14%), gangguan kepribadian (14%),gangguan bipolar, dan gangguan
stres pasca-trauma. Sekitar 5% pengidap schizophrenia mati karena bunuh diri. Gangguan
makan juga merupakan kondisi berisiko tinggi lainnya. Riwayat percobaan bunuh
diri di masa lalu merupakan alat prediksi terbaik terjadinya tindakan bunuh
diri yang akhirnya berhasil. Kira-kira 20% bunuh diri menunjukkan adanya
riwayat percobaan di masa lampau. Lalu, dari sekian yang pernah mencoba
melakukan bunuh diri memiliki peluang sebesar 1% untuk melakukan bunuh diri
yang berhasil dalam tempo satu tahun kemudian dan lebih dari 5% melakukan
bunuh diri setelah 10 tahun. Meskipun tindakan melukai diri sendiri bukan
merupakan percobaan bunuh diri, namun adanya perilaku suka melukai diri sendiri
tersebut meningkatkan risiko bunuh diri. Dari kasus bunuh diri yang berhasil,
sekitar 80% individu yang melakukannya telah menemui dokter selama setahun sebelum
kematian, termasuk 45% di antaranya yang menemui dokter dalam satu bulan
sebelum kematian. Sekitar 25–40% orang yang berhasil melakukan bunuh diri
pernah menghubungi layanan kesehatan jiwa pada tahun sebelumnya.
2. Penggunaan
obat, penyalahgunaan
obat adalah faktor risiko bunuh diri paling umum kedua setelah depresi mayor
dan gangguan bipolar. Baik penyalahgunaan obat kronis maupun kecanduan akut
saling berhubungan satu sama lain. Bila digabungkan dengan kesedihan diri,
misalnya ditinggalkan seseorang yang meninggal, risiko tersebut semakin
meningkat. Selain itu, penyalahgunaan obat berkaitan dengan gangguan kesehatan
jiwa. Saat melakukan bunuh diri, kebanyakan orang berada dalam pengaruh obat
yang bersifat sedatif-hipnotis (misalnya alkohol atau benzodiazepine) dengan
adanya alkoholisme pada sekitar 15% sampai 61% kasus. Negara-negara dengan
angka penggunaan alkohol tinggi dan memiliki jumlah bar lebih banyak secara
umum juga memiliki risiko terjadinya bunuh diri lebih tinggi yang
keterkaitannya terutama berhubungan dengan penggunaan minuman beralkohol hasil
distilasi ketimbang jumlah total alkohol yang digunakan. Sekitar 2.2–3.4% dari
mereka yang pernah dirawat karena menderita alkoholisme pada suatu waktu dalam
kehidupan mereka meninggal dengan cara bunuh diri. Pecandu alkohol yang
melakukan percobaan bunuh diri biasanya pria, dalam usia tua, dan pernah
melakukan percobaan bunuh diri di masa lampau. Antara 3 hingga 35% kematian
pada kelompok pemakai heroin diakibatkan oleh bunuh diri (kira-kira 14 kali lipat
lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak memakai heroin).
Penyalahgunaan
kokain dan methamphetamine memiliki korelasi besar terhadap bunuh diri. Mereka
yang menggunakan kokain memiliki risiko terbesar saat berada dalam fase sakaw.
Mereka yang menggunakan inhalansia juga memiliki risiko besar dengan sekitar
20% di antaranya mencoba melakukan bunuh diri pada suatu waktu dan lebih dari
65% pernah berpikir untuk melakukannya. Merokok memiliki keterkaitan dengan
risiko bunuh diri. Tidak ada bukti yang cukup kuat mengapa ada keterkaitan
tersebut; namun hipotesis menyatakan bahwa mereka yang memiliki kecenderungan
merokok juga memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri, bahwa merokok
menyebabkan masalah kesehatan sehingga mendorong seseorang untuk mengakhiri
hidupnya, dan bahwa merokok mempengaruhi kimia otak hingga menyebabkan
kecenderungan bunuh diri. Meski demikian, Ganja/Cannabis sepertinya tidak
secara tunggal menyebabkan peningkatan risiko.
3. Masalah
Perjudian, masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan meningkatnya keinginan
bunuh diri dan upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri dibandingkan dengan
populasi umum. Antara 12 dan 24% pejudi patologis berusaha bunuh diri. Angka
bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga kali lebih besar daripada
populasi umum. Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka dengan masalah
perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan narkoba.
4. Kondisi
Medis, terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik, mencakup:
sakit kronis, cedera otak traumatis, kanker, mereka yang menjalani
hemodialisis, HIV, lupus eritematosus sistemik, dan beberapa lainnya. Diagnosis
kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira dua kali lipat. Angka
kejadian bunuh diri yang meningkat tetap tinggi setelah disesuaikan dengan
penyakit depresi dan penyalahgunaan alkohol. Pada orang yang memiliki lebih
dari satu kondisi medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah
kesehatan termasuk dalam daftar utama diperbolehkannya bunuh diri.
5. Gangguan
tidur, gangguan tidur seperti insomnia dan apnea tidur merupakan faktor
risiko mengalami depresi dan melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus,
gangguan tidur mungkin menjadi faktor risiko independen timbulnya depresi.
Sejumlah kondisi medis lainnya mungkin disertai gejala yang mirip dengan
gangguan suasana hati, termasuk: hipotiroid, Alzheimer, tumor otak, lupus
eritematosus sistemik, dan efek samping dari sejumlah obat (seperti beta
blocker dan steroid).
6. Stres
kehidupan, stres kehidupan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir
seperti kehilangan anggota keluarga atau teman, kehilangan pekerjaan, atau
isolasi sosial (seperti hidup sendiri) meningkatkan risiko tersebut. Orang yang
tidak pernah menikah juga berisiko lebih besar. Bersikap religius dapat
mengurangi risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dikaitkan
dengan pandangan negatif sebagian besar agama yang menentang perbuatan bunuh
diri dan dengan lebih besarnya rasa keterikatan yang bisa diberikan oleh agama.
Muslim, di antara umat beragama, tampaknya memiliki tingkat yang lebih rendah.
7. Pelecehan
Seksual, sejumlah orang mungkin ingin bunuh diri untuk melarikan diri dari
intimidasi atau tuduhan. Riwayat pelecehan seksual pada masa kecil dan dan saat
menjadi anak asuh juga merupakan faktor risiko. Pelecehan seksual diyakini
memberi kontribusi sekitar 20% dari keseluruhan risiko. evolusioner menjelaskan
bahwa persoalan bunuh diri bisa meningkatkan kemampuan inklusif. Hal ini dapat
terjadi jika orang yang ingin bunuh diri tidak dapat lagi memiliki anak dan
mengangkat anak dari kerabatnya dengan tetap bertahan hidup. Hal yang tidak
dapat disetujui adalah bahwa kematian pada remaja yang sehat tidak menyebabkan
terjadinya kemampuan inklusif. Proses adaptasi terhadap lingkungan adat nenek
moyang yang sangat berbeda mungkin menjadi proses yang maladaptif dalam kondisi
saat ini.
8. Kemiskinan, kemiskinan
dikaitkan dengan risiko bunuh diri. Meningkatnya kemiskinan relatif seseorang
yang dibandingkan dengan orang yang ada di sekitarnya dapat meningkatkan risiko
bunuh diri. Lebih dari 200.000 petani di India telah melakukan bunuh diri sejak
tahun 1997, yang sebagian karena persoalan utang. Di Cina, kemungkinan
peristiwa bunuh diri terjadi tiga kali lipat di daerah pedesaan di pinggiran
kota, yang diyakini akibat kesulitan keuangan di area ini di negara tersebut.
9. Media Masa, termasuk
internet, memainkan peranan penting. Caranya menyajikan gambaran bunuh diri
mungkin saja memiliki efek negatif dengan banyaknya tayangan yang mencolok dan
berulang yang mengagungkan atau meromantiskan tindakan bunuh diri dan
memberikan dampak terbesar. Bila digambarkan secara rinci tentang cara
melakukan bunuh diri dengan menggunakan cara tertentu, metode bunuh diri
mungkin saja meningkat dalam populasi secara keseluruhan. Pemicu penularan
bunuh diri atau peniruan bunuh diri ini dikenal sebagai efek Werther, yang
diberi nama berdasarkan tokoh protagonist dalam karya Goethe yang berjudul The
Sorrows of Young Werther yang melakukan bunuh diri. Risiko ini lebih besar pada
remaja yang mungkin meromantiskan kematian. Sementara media massa memiliki
pengaruh yang signifikan, efek dari media hiburan masih tampak samar-samar.
Kebalikan dari efek Werther adalah pengusulan efek Papageno, yaitu cakupan yang
baik mengenai mekanisme cara mengatasi masalah secara efektif, mungkin memiliki
efek perlindungan. Istilah ini didasarkan pada karakter dalam opera Mozart yang
berjudul The Magic Flute yang akan melakukan bunuh diri karena takut kehilangan
orang yang dicintainya sampai teman-temannya menyelamatkannya. Bila media
mengikuti pedoman pelaporan yang sesuai, risiko bunuh diri dapat diturunkan.
Namun, kepatuhan dari industri tersebut bisa saja sulit didapatkan terutama
dalam jangka panjang.
10. Perokok, merokok tidak
hanya merusak kesehatan fisik, tetapi juga mental. Peneliti dari Washington
University School of Medicine menemukan, peningkatan pajak harga rokok
berhubungan dengan penurunan kasus bunuh diri di suatu daerah. Mereka
menyimpulkan, merokok berhubungan dengan tindakan nekat tersebut. Diperkirakan
dampak merokok terhadap bunuh diri berhubungan dengan sifat adiksi yang
diberikan rokok.
11. Remaja
dengan gegar otak, cidera otak karena trauma dapat merusak kesehatan
saraf remaja yang masih bertumbuh. Sebuah studi baru-baru ini menemukan, gegar
otak juga berhubungan dengan kematian dini, yang paling sering adalah akibat bunuh
diri. Remaja yang mengalami gegar otak tiga kali lebih mungkin untuk bunuh
diri.
12. Dewasa
dengan asperger, sindrom asperger merupakan salah satu gangguan
spektrum autis. Kondisi ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan
berkomunikasi dan gangguan perilaku. Sebuah studi baru-baru ini pada populasi
di Inggris menunjukkan, orang dengan asperger sembilan kali lebih mungkin untuk
memikirkan bunuh diri di beberapa titik dalam hidupnya. Ini mungkin dikarenakan
mereka cenderung merasa depresi akibat isolasi sosial, kesepian, tidak
berprestasi, dan pengangguran.
13. Remaja yang
diadopsi, banyak remaja yang diadopsi yang menunjukkan
tanda-tanda gangguan psikotik sekaligus penyalahgunaan narkoba. Sebuah studi
baru-baru ini yang melibatkan remaja asal Minnesota mengungkapkan, 47 dari 56
kasus bunuh diri dilakukan oleh remaja yang diadopsi. Ini biasanya dipicu oleh
perselisihan keluarga, stres akademis, perilaku lingkungan, dan mood
negatif.
14. Diet Makanan, pada
penderita Alergi ditemukan hasil mengejutkan saat diteliti, diungkapkan Benton
David bahwa penderita alergi bila makanan beresiko dihindari maka akan
mengurangi perilaku antisosial, perbuatan kriminal dan perbuatan bunuh diri.
Bentin dalam menelitiannya telah mengungkapkan bahwa intervensi dan penghindaran
diet tertentu dapat berprngaruh pada perilaku antisosial, perbuatan bunuh diri
dan perbuatan kriminal.
C. Analisa
Salah satu alasan begitu besar penilaian orang
mengenai kekerasan dan agresi ialah karena terjadi salah penilaian begitu besar
tentang perilaku ini. Apa dan bagaimana kekerasan yang terjadi, demikian pula
ssejauh mana meluasnya tindakan tersebut, sering dimengerti secara keliru. Para
ahli ilmu sosial menggunakan istilah “agresi” untuk setiap perilaku yang
menyakiti diri sendiri atau orang lain. Dalam pembahasan pada makalah ini, kekerasan yang agresif adalah perilaku
yang bermaksud melukai diri sendiri. Contoh agresi yang paling dramatis yang
dilakukan pada diri sendiri adalah perilaku bunuh diri.
Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa kekerasan
sama sekali bukanlah hal yang ditetapkan secara genetik, melainkan sepenuhnya
merupakan hasil belajar. Seperti halnya kemampuan menulis, kekerasan bukanlah
bawaan sekalipun dilakukan pada diri sendiri. Kebanyakan ilmuwan mengambil
pandangan tenga. Mereka berpendapat bahwa ciri bawaan seseorang membawa
kecenderungan tertentu ke arah pengungkapan emosi dalam bentuk kekerasan,
tetapi kecenderungan ini kecil saja perannya, karena dapat ditekan ataupun
dikembangkan oleh masyarakat. Jadi, seberapa kerasnya perilaku seseorang
bergantung hampir sepenuhnya pada seberapa kerasnya perilaku yang telah
diajarkan kepada mereka.
Kebanyakan orang belajar melalui peniruan, mengambil
pola-pola perilaku yang mereka lihat di sekitar mereka, dan juga melalui proses
umum yang disebut pembiasaan. Mekanisme-mekanisme tersebut tersebut saling
mempengaruhi, sering tumpang tindih dan ada kalanya tampak saling bertentangan,
lagipula dalam menjelaskan perilaku keras dan agresif mekanisme itu sulit
dipilah-pilah satu dari yang lain. Sejauh mekanismenya dapat dipilah, proses
tersebut tampaknya dimulai dengan meniru. Dan seberapa efektifnya seseorang
meniru diperagakan dalam beberapa eksperimen kontroversial yang dilakukan oleh
psikologi Albert Bandura dari Universitas Stanford.
Dalam makalah ini, bentuk terapi yang digunakan pada
aksi kecenderungan bunuh diri adalah Cognitive
Behavior Therapy (Terapi Perilaku-Kognitif). Terapi Perilaku Kognitif
merupakan penggabungan dari Terapi perilaku dan Terapi Kognitif. Terapi
Perilaku adalah salah satu jenis Psikoterapi yang menggunakan pendekatan Teori
Belajar yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi dengan menggunakan
teknik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.
Tujuan umum
Terapi Perilaku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang
maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned,
maka ia bisa unlearned (dihapus dari
ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi Perilaku
pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak
adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat
respons-respons yang layak, namun belum dipelajari: meningkatkan perilaku atau
menurunkan perilaku, reinforcement positif atau memberi penghargaan terhadap
perilaku, reinforcement negatif atau mengurangi stimulus aversi, mengurangi
aversi, respons cost atau menghilangkan reinforcer, extinction atau menahan
reinforcer. Pendekatan yang dilakukan pada Terapi Kognitif adalah berusaha
mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional. Misalnya, orang dengan bunuh
diri mungkin berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang ingin berbicara dengannya
dan bahwa mereka akhirnya akan kesepian dan terisolasi sepanjang sisa hidup
mereka.
Terapi
kognitif membantu mereka untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran mereka
dan membantu mereka untuk melihat situasi secara rasional. Salah satu contoh
tekhnik kognitif adalah restrukturisasi kognitif, suatu proses dimana Psikolog
membantu klien mencari pikiran-pikiran dan mencari alternatif rasional sehingga
mereka bisa belajar menghadapi situasi pembangkit keinginan bunuh diri. Jadi
Terapi Perilaku Kognitif memiliki pendekatan yang menggabungkan
pendekatan-pendekatan tersebut di atas. Terapi kognitif biasa diberikan pada
kasus ini adalah Relaksasi Imagery, yang merileksasikan otot-otot dari bagian
kepala, wajah, tubuh, tangan dan kaki ketika klien merasa sangat suntuk dan
memiliki pikiran yang mulai negatif. Selain itu ada juga terapi yang biasa
digunakan untuk fokus ada ingatanya yaitu terapi Mapping Rasa Syukur. Mapping
Rasa Syukur yaitu terapi yang diberikan pada klien dengan cara klien diarahkan
untuk membuat daftar pengalaman positif yang pernah ia alami dua hari lalu,
kemudian terapis akan memberi instruksi bahwa itu harus disyukuri. Kemudian
terapis memberi instruksi lagi untuk klien membuat daftar tersebut mundur ke
pengalaman positif dua minggu lalu dan disyukuri sama seperti instruksi
sebelumnya. Terapis memberikan instruksi lagi untuk pengalaman positif untuk
dua bulan lalu dan terakhir pengalaman positif dua tahun lalu. Setelah selesai,
pelaku atau pasien dikuatkan untuk rekonstruksi kognitif klien bahwa ia
ternyata memiliki pengalaman positif dan ia dapat melakukan itu tanpa harus
berputus asa.
Adapun
inti dari Terapi Perilaku-Kognitif adalah mengarahkan klien untuk dapat
melakukan kontrol diri terhadap perilakunya sehingga perilaku yang tidak
diharapkan diganti dengan perilaku yang diharapkan. Di sini klien yang
mengalami kecenderungan bunuh diri diarahkan untuk mengganti cara berpikirnya
yang negatif menjadi cara berpikir yang positif. Adapun langkah-langkah
penanganan klien dengan kecenderungan bunuh diri dengan menggunakan Terapi
Perilaku-Kognitif adalah sebagai berikut:
1. Psikolog
atau terapis menentukan bersama klien tentang tujuan terapi
2. Harapan
klien terhadap prosedur terapi
3. Kontrak
terapi
4. Penugasan
pada klien untuk memonitor efektivitas terapi, seperti misalnya mengisi catatan
harian tentang pikiran-pikiran negatif
Di awal terapi,
Psikolog akan meminta klien mengukur tingkat kecemasannya dengan skala 1 – 10
dimana pada setiap sesi terapi skala ini akan selalu ditanyakan kepada klien.
Dengan demikian akan terlihat perkembangan keberhasilan terapi tersebut. Semua
langkah dalam terapi dan tugas-tugas akan dicatat oleh Psikolog untuk
dievaluasi.
Dalam proses
terapi, Psikolog atau terapis secara kontinyu mengobservasi reaksi perilaku dan
emosi klien dan selalu bertanya apa yang mungkin dilakukan klien terhadap
reaksi tersebut. Psikolog harus memperhatikan kesejahteraan klien dan
kemampuannya untuk keluar dari kosekeuensi negatif yang muncul sebagai akibat
dari perilaku yang tidak diharapkan dan Psikolog mengusulkan alternatif aksi
untuk merubah perilaku klien tersebut.
Dalam Terapi
Perilaku-Kognitif ini, Psikolog secara berkala memberikan tugas atau pekerjaan
rumah pada klien untuk dikerjakan, seperti misalnya mengisi lembar pemantauan
diri, dimana klien diminta menuliskan pikiran-pikiran negatif yang muncul
setiap hari. Kemudian pikiran-pikiran negatif ini harus digantikan dengan
pikiran positif. Selanjutnya klien dilatih untuk melakukan relaksasi, yaitu
suatu teknik untuk meningkatkan kepekaan klien terhadap rasa tegang di
tubuhnya, terutama saat kecemasan atau pikiran negatif yang memicu keinginan
bunuh diri muncul.
Dengan demikian
secara bertahap kecenderungan bunuh diri semakin berkurang frekuensinya dan
selanjutnya tidak pernah lagi muncul dalam pikiran klien seiring dengan
keberhasilannya melakukan kontrol diri. Malafungsi otak juga pernah dinyatakan
sebagai biang keladi untuk tindak kekerasan, entah itu kekerasan pada diri
sendiri atau ke orang lain. Pada tahun 1960-an sebuah regu ahli bedah otak dari
Boston melaporkan penemuan tentang banyaknya kasus gelombang otak yang tidak
normal di kalangan penghuni penjara atau rumah sakit jiwa. Pernyataan mereka
bahwa gangguan otak dapat menyebabkan kekerasan yang diperkuat oleh peristiwa
Charles Whitman di Austin.
BAB
III
KESIMPULAN
Faktor pemicu aksi bunuh diri pada seseorang dan orang-orang
yang dapat beresiko untuk melakukan kasus tersebut. Kebanyakan pelaku dari
kasus bunuh diri adalah remaja dan dewasa laki-laki, karena produksi testosteron yang lebih besar ditemukan
pada remaja dan dewasa yang nakal, terlibat kejahatan, peminum, dan
penyalahgunaan obat dibanding pada remaja dan dewasa biasa. Peran keluarga
sangat penting untuk memberikan pengetahuan serta didikan yang baik agar
anggota keluarganya tidak melakukan hal-hal diluar norma yang sudah dipelajari
dibangku sekolah.
Keluarga juga harus memberikan kasih sayang
yang lebih dan perhatian yang ekstra untuk sesama anggota keluarganya agar
selalu merasa aman dan nyaman. Sekalipun lingkungan luar memberi pengaruh buruk
dan memberikan dampak yang buruk juga untuk salah satu anggota keluarga
tersebut, khususnya untuk sang anak sangat membutuhkan hal-hal yang seperti itu
dari keluarganya. Apabila terjadi hal kecil yang membuat salah satu anggota
keluarga merasa tertekan, sebaiknya langsung berkonsultasi dengan psikolog
untuk melakukan sharing masalah yang
sedang dialami sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Pengaruh acara
televisi juga dapat mejadi faktor pendorong terjadinya aksi bunuh diri.
Seseorang dapat mencerna bagaimana aksi-aksi tersebut dilakukan sehingga
apabila mereka mengalami hal-hal yang sudah berakhiran putus asa, sewaktu-waktu
mereka akan mencoba aksi-aksi tersebut. Maka dari itu dampingan dan peran
orangtua sangatlah berarti, terutama untuk anak-anak dan remaja yang masih
sangat butuh bimbingan.
Kasus tersebut dapat dicegah atau diatasi
dengan memberikan Terapi Perilaku Kognitif kepada klien. Terapi Perilaku
Kognitif merupakan salah satu bentuk Psikoterapi yang dapat dilakukan secara
efektif untuk merubah kecenderungan klien bunuh diri dengan perilaku yang lebih
efektif dengan kemampuan kontrol diri yang kuat. Dalam hal ini klien dengan penuh
kesadaran merubah cara berpikirnya untuk berperilaku lebih positif. Walaupun
kelemahan terapi ini adalah sesi yang panjang dan tugas-tugas yang harus
dikerjakan klien, namun dengan kedisiplinan dan niat kuat yang diikat dalam
kontrak di awal terapi, menjadi kunci keberhasilan terapi. Seperti yang sudah
dijelaskan, ada dua terapi kognitif yang dapat digunakan untuk kasus ini yaitu
Relaksasi Imagery dan Mapping Rasa Syukur.
DAFTAR PUSTAKA
Bellack. Alan & Hersen, Michel. Behavior Modification An Introductory
Textbook. 1979. Oxford University Press, Inc
Burns, David D. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi. 1988.
Penerbit Erlangga.
Goldfired, Marvin & Davison, Gerald
C. Clinical Behavior Therapy. 1976.
Holt, Rinehart and Winston.
Oemarjoedi, A. Kasandra. Pendekatan Cognitive Behavior dalam
Psikoterapi. 2003. Penerbit Kreativ Media Jakarta.
Bailey, H Ronald. Kekerasan dan Agresi. 1988. Penerbit: PT Tira Pustaka.
LAMPIRAN
Terapi
Relaksasi Imagery