Kamis, 02 Juli 2015

KESEHATAN MENTAL




KESEHATAN MENTAL
Terapi Perilaku Kognitif pada Pelaku dengan Kecenderungan Bunuh Diri




Osa Dyahayu Kalmudojati
16513796
2PA08





UNIVERSITAS GUNADARMA
 



BAB I
PENDAHULUAN

     Penulisan makalah ini merupakan pemaparan mengenai Terapi Perilaku Kognitif yang diberikan kepada pelaku dengan kecenderungan bunuh diri. Pada kehidupan sehari-hari sangat banyak pemicu untuk melakukan perilaku yang menyimpang. Penyimpangan itu dapat terjadi karena faktor-faktor lingkungan yang mendukung. Seperti halnya yang sering terjadi di lingkungan kita adalah peristiwa bunuh diri. Memang ada jarak antara timbul keinginan untuk bunuh diri sampai perbuatan itu dilakukan, bisa beberapa hari, beberapa minggu sampai beberapa tahun. Semakin maraknya masalah yang ada di lingkungan kita, semakin tinggi pula tingkat pelaku bunuh diri. Pelaku bunuh diri biasanya disebabkan karena beberapa hal, seperti: gangguan jiwa (depresi, schizophrenia, penyalahgunaan zat, dll); putus asa, karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh; jalan buntu, karena tidak bisa menyelesaikan masalah sulit yang sedang dihadapi; rasa bersalah yang berlebihan, sehingga merasa tidak ada ampunan bagi dirinya dan yang terakhir adalah yakin bahwa mati lebih baik daripada hidup di dunia.
Banyak faktor yang mengakibatkan orang beresiko untuk melakukan bunuh diri, seperti usia diatas 45 tahun, pria, wanita, tidak melakukan perkawinan, pengangguran, hubungan sosial yang buruk, berasal dari keluarga yang berantakan, penyakit fisik yang tidak sembuh-sembuh, menyalahgunakan alkohol, depresi berat, sakit jiwa berat, gangguan kepribadian, putus asa, sering memikirkan untuk bunuh diri, sering melakukan percobaan untuk bunuh diri, suka menyalahkan diri sendiri, pengendalian emosi yang buruk, dan sanak keluarga tidak peduli. Adapun keberhasilan pelaku yang pernah melakukan bunuh diri, sebagai contoh: anak di bawah sepuluh tahun terjun dari gedung lantai 26, remaja gantung diri di pintu kamar mandi dan wanita minum racun serangga, pria gantung diri dengan kabel listrik.
 Pada kasus bunuh diri tersebut maka para pelaku membutuhkan peran seorang Psikolog untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Psikolog dapat menemukan penyebab dari aksi bunuh diri tersebut dari pendekatan dengan pelaku. Psikolog juga memiliki beberapa cara penyembuhan antara lain dengan terapi. Salah satu terapi yang bisa dilakukan pada pelaku bunuh diri adalah  Terapi Perilaku Kognitif untuk menyadarkan apa yang telah dilakukan oleh pelaku. Terapi Perilaku Kognitif adalah penanganan yang dilakukan untuk  menghilangkan perilaku tertentu dengan mengawasi dan merubah proses belajar si penderita dengan cara merekonstruksi pikirannya. Terapi Perilaku Kognitif juga digunakan untuk gangguan fobia, gangguan kompulsif, disfungsi seksual, diviasi seksual dan gangguan jiwa ringan lainnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan bahayau bunuh diri, mendeskripsikan apa itu bunuh diri dan terapi perilaku. selain itu juga untuk memahami hal-hal yang menjadi penyebab kasus bunuh diri, memberitahu pembaca tentang penanganan psikologis yang perlu dilakukan untuk kasus tersebut dan memahami langkah-langkah terapi perilaku kognitif.
Manfaat dari penelitian ini adalah penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi yang membutuhkan, khususnya untuk orang-orang yang ingin lebih mendalami ilmu psikologi.

 BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Teori Tentang Kecenderungan Bunuh Diri
1.      Teori Agresi
a.       Agresi Emosional, disebabkan karena adanya emosi. Agresi emosional ini bersifat reaktif. Agresi ini terjadi sebagai jawaban atas tantangan, rasa nyeri, ancaman, atau kekecewaan tertentu. Rangsangan ini menyebabkan otak dan zat kimia pembawa berita (yang dikenal sebagai hormon) memerintah jantung agar memompa lebih cepat dan mengirimkan lebih banyak darah degan makanan dan zat asam ke otot. Telapak tangan menjadi berkeringat, muka memerah karena marah dan jika naiknya emosi tak terkendali akan terjadilah suatu tindakan agresi.
b.      Agresi Instrumental, pada agresi ini tidak perlu disertai kemarahan dan terjadi dalam keadaan hati yang tenang. Agresi ini sebagai alat, sesuai dengan tujuan akhir perilaku itu.
2.      Teori Lingkungan
Inti dari teori lingkungan adalah perilaku agresi merupakan reaksi terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi di lingkungan.
a.         Teori frustrasi agresi klasik, yaitu agresi dipicu oleh frustrasi. Frustrasi artinya adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan
b.   Teori Frustrasi Agresi Baru, yaitu frustrasi menimbulkan kemarahan dan emosi, kondisi marah tersebut memicu agresi. Marah timbul jika sumber frustrasi dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada yang menimbulkan frustrasi itu.
c.         Teori Belajar Sosial, yaitu lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura, tokoh teori ini menyebutkan bahwa perilaku agresi, perbuatan berbahaya, perbuatan yang tidak pasti dapat dikatakan sebagai hasil bentuk dari pelajaran perilaku sosial. Dikatakan bahwa agresi dapat dibentuk hanya dengan meniru perilaku agresi orang lain.
 d.      Teori Kognitif, memusatkan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi) pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian dan pembuatan keputusan. Sekitar 800.000 hingga satu juta orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, sehingga bunuh diri menduduki  posisi ke-10 sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. Angka bunuh diri tercatat lebih banyak dilakukan oleh pria ketimbang wanita, dengan kemungkinan tiga sampai empat kali lebih besar seorang pria melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Tercatat ada sekitar 10 hingga 20  juta kasus percobaan bunuh diri yang gagal setiap tahun. Percobaan bunuh diri semacam ini lebih sering dilakukan remaja dan kaum hawa.

B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kecenderungan Bunuh Diri
1.      Gangguan Jiwa, gangguan jiwa seringkali terjadi pada seseorang saat melakukan bunuh diri dengan angka kejadian berkisar antara 27% hingga lebih dari 90%. Orang yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa memiliki risiko melakukan tindakan bunuh diri yang berhasil sebesar 8.6% selama hidupnya. Sebagian dari orang yang meninggal karena bunuh diri bisa jadi memiliki gangguan depresi mayor. Orang yang mengidap gangguan depresi mayor atau salah satu dari gangguan keadaan jiwa seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi, hingga mencapai 20 kali lipat, untuk melakukan bunuh diri. Kondisi lain yang turut terlibat adalah schizophrenia(14%), gangguan kepribadian (14%),gangguan bipolar, dan gangguan stres pasca-trauma. Sekitar 5% pengidap schizophrenia mati karena bunuh diri. Gangguan makan juga merupakan kondisi berisiko tinggi lainnya. Riwayat percobaan bunuh diri di masa lalu merupakan alat prediksi terbaik terjadinya tindakan bunuh diri yang akhirnya berhasil. Kira-kira 20% bunuh diri menunjukkan adanya riwayat percobaan di masa lampau. Lalu, dari sekian yang pernah mencoba melakukan bunuh diri memiliki peluang sebesar 1% untuk melakukan bunuh diri yang berhasil dalam tempo satu tahun kemudian  dan lebih dari 5% melakukan bunuh diri setelah 10 tahun. Meskipun tindakan melukai diri sendiri bukan merupakan percobaan bunuh diri, namun adanya perilaku suka melukai diri sendiri tersebut meningkatkan risiko bunuh diri. Dari kasus bunuh diri yang berhasil, sekitar 80% individu yang melakukannya telah menemui dokter selama setahun sebelum kematian, termasuk 45% di antaranya yang menemui dokter dalam satu bulan sebelum kematian. Sekitar 25–40% orang yang berhasil melakukan bunuh diri pernah menghubungi layanan kesehatan jiwa pada tahun sebelumnya.
2.      Penggunaan obat, penyalahgunaan obat adalah faktor risiko bunuh diri paling umum kedua setelah depresi mayor dan gangguan bipolar. Baik penyalahgunaan obat kronis maupun kecanduan akut saling berhubungan satu sama lain. Bila digabungkan dengan kesedihan diri, misalnya ditinggalkan seseorang yang meninggal, risiko tersebut semakin meningkat. Selain itu, penyalahgunaan obat berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa. Saat melakukan bunuh diri, kebanyakan orang berada dalam pengaruh obat yang bersifat sedatif-hipnotis (misalnya alkohol atau benzodiazepine) dengan adanya alkoholisme pada sekitar 15% sampai 61% kasus. Negara-negara dengan angka penggunaan alkohol tinggi dan memiliki jumlah bar lebih banyak secara umum juga memiliki risiko terjadinya bunuh diri lebih tinggi yang keterkaitannya terutama berhubungan dengan penggunaan minuman beralkohol hasil distilasi ketimbang jumlah total alkohol yang digunakan. Sekitar 2.2–3.4% dari mereka yang pernah dirawat karena menderita alkoholisme pada suatu waktu dalam kehidupan mereka meninggal dengan cara bunuh diri. Pecandu alkohol yang melakukan percobaan bunuh diri biasanya pria, dalam usia tua, dan pernah melakukan percobaan bunuh diri di masa lampau. Antara 3 hingga 35% kematian pada kelompok pemakai heroin diakibatkan oleh bunuh diri (kira-kira 14 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak memakai heroin).
   Penyalahgunaan kokain dan methamphetamine memiliki korelasi besar terhadap bunuh diri. Mereka yang menggunakan kokain memiliki risiko terbesar saat berada dalam fase sakaw. Mereka yang menggunakan inhalansia juga memiliki risiko besar dengan sekitar 20% di antaranya mencoba melakukan bunuh diri pada suatu waktu dan lebih dari 65% pernah berpikir untuk melakukannya. Merokok memiliki keterkaitan dengan risiko bunuh diri. Tidak ada bukti yang cukup kuat mengapa ada keterkaitan tersebut; namun hipotesis menyatakan bahwa mereka yang memiliki kecenderungan merokok juga memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri, bahwa merokok menyebabkan masalah kesehatan sehingga mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya, dan bahwa merokok mempengaruhi kimia otak hingga menyebabkan kecenderungan bunuh diri. Meski demikian, Ganja/Cannabis sepertinya tidak secara tunggal menyebabkan peningkatan risiko.
 3.  Masalah Perjudian, masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan meningkatnya keinginan bunuh diri dan upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri dibandingkan dengan populasi umum. Antara 12 dan 24% pejudi patologis berusaha bunuh diri. Angka bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga kali lebih besar daripada populasi umum. Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka dengan masalah perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan narkoba.
4.  Kondisi Medis, terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik, mencakup: sakit kronis, cedera otak traumatis, kanker, mereka yang menjalani hemodialisis, HIV, lupus eritematosus sistemik, dan beberapa lainnya. Diagnosis kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira dua kali lipat. Angka kejadian bunuh diri yang meningkat tetap tinggi setelah disesuaikan dengan penyakit depresi dan penyalahgunaan alkohol. Pada orang yang memiliki lebih dari satu kondisi medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah kesehatan termasuk dalam daftar utama diperbolehkannya bunuh diri.
5.      Gangguan tidur, gangguan tidur seperti insomnia dan apnea tidur merupakan faktor risiko mengalami depresi dan melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus, gangguan tidur mungkin menjadi faktor risiko independen timbulnya depresi. Sejumlah kondisi medis lainnya mungkin disertai gejala yang mirip dengan gangguan suasana hati, termasuk: hipotiroid, Alzheimer, tumor otak, lupus eritematosus sistemik, dan efek samping dari sejumlah obat (seperti beta blocker dan steroid).
6.   Stres kehidupan,  stres kehidupan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir seperti kehilangan anggota keluarga atau teman, kehilangan pekerjaan, atau isolasi sosial (seperti hidup sendiri) meningkatkan risiko tersebut. Orang yang tidak pernah menikah juga berisiko lebih besar. Bersikap religius dapat mengurangi risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dikaitkan dengan pandangan negatif sebagian besar agama yang menentang perbuatan bunuh diri dan dengan lebih besarnya rasa keterikatan yang bisa diberikan oleh agama. Muslim, di antara umat beragama, tampaknya memiliki tingkat yang lebih rendah.
7.    Pelecehan Seksual, sejumlah orang mungkin ingin bunuh diri untuk melarikan diri dari intimidasi atau tuduhan. Riwayat pelecehan seksual pada masa kecil dan dan saat menjadi anak asuh juga merupakan faktor risiko. Pelecehan seksual diyakini memberi kontribusi sekitar 20% dari keseluruhan risiko. evolusioner menjelaskan bahwa persoalan bunuh diri bisa meningkatkan kemampuan inklusif. Hal ini dapat terjadi jika orang yang ingin bunuh diri tidak dapat lagi memiliki anak dan mengangkat anak dari kerabatnya dengan tetap bertahan hidup. Hal yang tidak dapat disetujui adalah bahwa kematian pada remaja yang sehat tidak menyebabkan terjadinya kemampuan inklusif. Proses adaptasi terhadap lingkungan adat nenek moyang yang sangat berbeda mungkin menjadi proses yang maladaptif dalam kondisi saat ini.
8.   Kemiskinan, kemiskinan dikaitkan dengan risiko bunuh diri. Meningkatnya kemiskinan relatif seseorang yang dibandingkan dengan orang yang ada di sekitarnya dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Lebih dari 200.000 petani di India telah melakukan bunuh diri sejak tahun 1997, yang sebagian karena persoalan utang. Di Cina, kemungkinan peristiwa bunuh diri terjadi tiga kali lipat di daerah pedesaan di pinggiran kota, yang diyakini akibat kesulitan keuangan di area ini di negara tersebut.
9.  Media Masa, termasuk internet, memainkan peranan penting. Caranya menyajikan gambaran bunuh diri mungkin saja memiliki efek negatif dengan banyaknya tayangan yang mencolok dan berulang yang mengagungkan atau meromantiskan tindakan bunuh diri dan memberikan dampak terbesar. Bila digambarkan secara rinci tentang cara melakukan bunuh diri dengan menggunakan cara tertentu, metode bunuh diri mungkin saja meningkat dalam populasi secara keseluruhan. Pemicu penularan bunuh diri atau peniruan bunuh diri ini dikenal sebagai efek Werther, yang diberi nama berdasarkan tokoh protagonist dalam karya Goethe yang berjudul The Sorrows of Young Werther yang melakukan bunuh diri. Risiko ini lebih besar pada remaja yang mungkin meromantiskan kematian. Sementara media massa memiliki pengaruh yang signifikan, efek dari media hiburan masih tampak samar-samar. Kebalikan dari efek Werther adalah pengusulan efek Papageno, yaitu cakupan yang baik mengenai mekanisme cara mengatasi masalah secara efektif, mungkin memiliki efek perlindungan. Istilah ini didasarkan pada karakter dalam opera Mozart yang berjudul The Magic Flute yang akan melakukan bunuh diri karena takut kehilangan orang yang dicintainya sampai teman-temannya menyelamatkannya. Bila media mengikuti pedoman pelaporan yang sesuai, risiko bunuh diri dapat diturunkan. Namun, kepatuhan dari industri tersebut bisa saja sulit didapatkan terutama dalam jangka panjang.
   10.   Perokok, merokok tidak hanya merusak kesehatan fisik, tetapi juga mental. Peneliti dari Washington University School of Medicine menemukan, peningkatan pajak harga rokok berhubungan dengan penurunan kasus bunuh diri di suatu daerah. Mereka menyimpulkan, merokok berhubungan dengan tindakan nekat tersebut. Diperkirakan dampak merokok terhadap bunuh diri berhubungan dengan sifat adiksi yang diberikan rokok.
11.  Remaja dengan gegar otak, cidera otak karena trauma dapat merusak kesehatan saraf remaja yang masih bertumbuh. Sebuah studi baru-baru ini menemukan, gegar otak juga berhubungan dengan kematian dini, yang paling sering adalah akibat bunuh diri. Remaja yang mengalami gegar otak tiga kali lebih mungkin untuk bunuh diri.
12.  Dewasa dengan asperger, sindrom asperger merupakan salah satu gangguan spektrum autis. Kondisi ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan berkomunikasi dan gangguan perilaku. Sebuah studi baru-baru ini pada populasi di Inggris menunjukkan, orang dengan asperger sembilan kali lebih mungkin untuk memikirkan bunuh diri di beberapa titik dalam hidupnya. Ini mungkin dikarenakan mereka cenderung merasa depresi akibat isolasi sosial, kesepian, tidak berprestasi, dan pengangguran.
13.  Remaja yang diadopsi, banyak remaja yang diadopsi yang menunjukkan tanda-tanda gangguan psikotik sekaligus penyalahgunaan narkoba. Sebuah studi baru-baru ini yang melibatkan remaja asal Minnesota mengungkapkan, 47 dari 56 kasus bunuh diri dilakukan oleh remaja yang diadopsi. Ini biasanya dipicu oleh perselisihan keluarga, stres akademis, perilaku lingkungan, dan mood negatif.
 14. Diet Makanan, pada penderita Alergi ditemukan hasil mengejutkan saat diteliti, diungkapkan Benton David bahwa penderita alergi bila makanan beresiko dihindari maka akan mengurangi perilaku antisosial, perbuatan kriminal dan perbuatan bunuh diri. Bentin dalam menelitiannya telah mengungkapkan bahwa intervensi dan penghindaran diet tertentu dapat berprngaruh pada perilaku antisosial, perbuatan bunuh diri dan perbuatan kriminal.

 C.    Analisa
Salah satu alasan begitu besar penilaian orang mengenai kekerasan dan agresi ialah karena terjadi salah penilaian begitu besar tentang perilaku ini. Apa dan bagaimana kekerasan yang terjadi, demikian pula ssejauh mana meluasnya tindakan tersebut, sering dimengerti secara keliru. Para ahli ilmu sosial menggunakan istilah “agresi” untuk setiap perilaku yang menyakiti diri sendiri atau orang lain. Dalam pembahasan pada makalah  ini, kekerasan yang agresif adalah perilaku yang bermaksud melukai diri sendiri. Contoh agresi yang paling dramatis yang dilakukan pada diri sendiri adalah perilaku bunuh diri.
Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa kekerasan sama sekali bukanlah hal yang ditetapkan secara genetik, melainkan sepenuhnya merupakan hasil belajar. Seperti halnya kemampuan menulis, kekerasan bukanlah bawaan sekalipun dilakukan pada diri sendiri. Kebanyakan ilmuwan mengambil pandangan tenga. Mereka berpendapat bahwa ciri bawaan seseorang membawa kecenderungan tertentu ke arah pengungkapan emosi dalam bentuk kekerasan, tetapi kecenderungan ini kecil saja perannya, karena dapat ditekan ataupun dikembangkan oleh masyarakat. Jadi, seberapa kerasnya perilaku seseorang bergantung hampir sepenuhnya pada seberapa kerasnya perilaku yang telah diajarkan kepada mereka.
Kebanyakan orang belajar melalui peniruan, mengambil pola-pola perilaku yang mereka lihat di sekitar mereka, dan juga melalui proses umum yang disebut pembiasaan. Mekanisme-mekanisme tersebut tersebut saling mempengaruhi, sering tumpang tindih dan ada kalanya tampak saling bertentangan, lagipula dalam menjelaskan perilaku keras dan agresif mekanisme itu sulit dipilah-pilah satu dari yang lain. Sejauh mekanismenya dapat dipilah, proses tersebut tampaknya dimulai dengan meniru. Dan seberapa efektifnya seseorang meniru diperagakan dalam beberapa eksperimen kontroversial yang dilakukan oleh psikologi Albert Bandura dari Universitas Stanford.
Dalam makalah ini, bentuk terapi yang digunakan pada aksi kecenderungan bunuh diri adalah Cognitive Behavior Therapy (Terapi Perilaku-Kognitif). Terapi Perilaku Kognitif merupakan penggabungan dari Terapi perilaku dan Terapi Kognitif. Terapi Perilaku adalah salah satu jenis Psikoterapi yang menggunakan pendekatan Teori Belajar yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi dengan menggunakan teknik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.
 Tujuan umum Terapi Perilaku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi Perilaku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari: meningkatkan perilaku atau menurunkan perilaku, reinforcement positif atau memberi penghargaan terhadap perilaku, reinforcement negatif atau mengurangi stimulus aversi, mengurangi aversi, respons cost atau menghilangkan reinforcer, extinction atau menahan reinforcer. Pendekatan yang dilakukan pada Terapi Kognitif adalah berusaha mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional. Misalnya, orang dengan bunuh diri mungkin berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang ingin berbicara dengannya dan bahwa mereka akhirnya akan kesepian dan terisolasi sepanjang sisa hidup mereka.
Terapi kognitif membantu mereka untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran mereka dan membantu mereka untuk melihat situasi secara rasional. Salah satu contoh tekhnik kognitif adalah restrukturisasi kognitif, suatu proses dimana Psikolog membantu klien mencari pikiran-pikiran dan mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi pembangkit keinginan bunuh diri. Jadi Terapi Perilaku Kognitif memiliki pendekatan yang menggabungkan pendekatan-pendekatan tersebut di atas. Terapi kognitif biasa diberikan pada kasus ini adalah Relaksasi Imagery, yang merileksasikan otot-otot dari bagian kepala, wajah, tubuh, tangan dan kaki ketika klien merasa sangat suntuk dan memiliki pikiran yang mulai negatif. Selain itu ada juga terapi yang biasa digunakan untuk fokus ada ingatanya yaitu terapi Mapping Rasa Syukur. Mapping Rasa Syukur yaitu terapi yang diberikan pada klien dengan cara klien diarahkan untuk membuat daftar pengalaman positif yang pernah ia alami dua hari lalu, kemudian terapis akan memberi instruksi bahwa itu harus disyukuri. Kemudian terapis memberi instruksi lagi untuk klien membuat daftar tersebut mundur ke pengalaman positif dua minggu lalu dan disyukuri sama seperti instruksi sebelumnya. Terapis memberikan instruksi lagi untuk pengalaman positif untuk dua bulan lalu dan terakhir pengalaman positif dua tahun lalu. Setelah selesai, pelaku atau pasien dikuatkan untuk rekonstruksi kognitif klien bahwa ia ternyata memiliki pengalaman positif dan ia dapat melakukan itu tanpa harus berputus asa.
 Adapun inti dari Terapi Perilaku-Kognitif adalah mengarahkan klien untuk dapat melakukan kontrol diri terhadap perilakunya sehingga perilaku yang tidak diharapkan diganti dengan perilaku yang diharapkan. Di sini klien yang mengalami kecenderungan bunuh diri diarahkan untuk mengganti cara berpikirnya yang negatif menjadi cara berpikir yang positif. Adapun langkah-langkah penanganan klien dengan kecenderungan bunuh diri dengan menggunakan Terapi Perilaku-Kognitif adalah sebagai berikut:
1.      Psikolog atau terapis menentukan bersama klien tentang tujuan terapi
2.      Harapan klien terhadap prosedur terapi
3.      Kontrak terapi
4.      Penugasan pada klien untuk memonitor efektivitas terapi, seperti misalnya mengisi catatan harian tentang pikiran-pikiran negatif
Di awal terapi, Psikolog akan meminta klien mengukur tingkat kecemasannya dengan skala 1 – 10 dimana pada setiap sesi terapi skala ini akan selalu ditanyakan kepada klien. Dengan demikian akan terlihat perkembangan keberhasilan terapi tersebut. Semua langkah dalam terapi dan tugas-tugas akan dicatat oleh Psikolog untuk dievaluasi.
Dalam proses terapi, Psikolog atau terapis secara kontinyu mengobservasi reaksi perilaku dan emosi klien dan selalu bertanya apa yang mungkin dilakukan klien terhadap reaksi tersebut. Psikolog harus memperhatikan kesejahteraan klien dan kemampuannya untuk keluar dari kosekeuensi negatif yang muncul sebagai akibat dari perilaku yang tidak diharapkan dan Psikolog mengusulkan alternatif aksi untuk merubah perilaku klien tersebut.
Dalam Terapi Perilaku-Kognitif ini, Psikolog secara berkala memberikan tugas atau pekerjaan rumah pada klien untuk dikerjakan, seperti misalnya mengisi lembar pemantauan diri, dimana klien diminta menuliskan pikiran-pikiran negatif yang muncul setiap hari. Kemudian pikiran-pikiran negatif ini harus digantikan dengan pikiran positif. Selanjutnya klien dilatih untuk melakukan relaksasi, yaitu suatu teknik untuk meningkatkan kepekaan klien terhadap rasa tegang di tubuhnya, terutama saat kecemasan atau pikiran negatif yang memicu keinginan bunuh diri muncul.
 Dengan demikian secara bertahap kecenderungan bunuh diri semakin berkurang frekuensinya dan selanjutnya tidak pernah lagi muncul dalam pikiran klien seiring dengan keberhasilannya melakukan kontrol diri. Malafungsi otak juga pernah dinyatakan sebagai biang keladi untuk tindak kekerasan, entah itu kekerasan pada diri sendiri atau ke orang lain. Pada tahun 1960-an sebuah regu ahli bedah otak dari Boston melaporkan penemuan tentang banyaknya kasus gelombang otak yang tidak normal di kalangan penghuni penjara atau rumah sakit jiwa. Pernyataan mereka bahwa gangguan otak dapat menyebabkan kekerasan yang diperkuat oleh peristiwa Charles Whitman di Austin.

  BAB III
KESIMPULAN

            Faktor pemicu aksi bunuh diri pada seseorang dan orang-orang yang dapat beresiko untuk melakukan kasus tersebut. Kebanyakan pelaku dari kasus bunuh diri adalah remaja dan dewasa laki-laki, karena produksi testosteron yang lebih besar ditemukan pada remaja dan dewasa yang nakal, terlibat kejahatan, peminum, dan penyalahgunaan obat dibanding pada remaja dan dewasa biasa. Peran keluarga sangat penting untuk memberikan pengetahuan serta didikan yang baik agar anggota keluarganya tidak melakukan hal-hal diluar norma yang sudah dipelajari dibangku sekolah.
 Keluarga juga harus memberikan kasih sayang yang lebih dan perhatian yang ekstra untuk sesama anggota keluarganya agar selalu merasa aman dan nyaman. Sekalipun lingkungan luar memberi pengaruh buruk dan memberikan dampak yang buruk juga untuk salah satu anggota keluarga tersebut, khususnya untuk sang anak sangat membutuhkan hal-hal yang seperti itu dari keluarganya. Apabila terjadi hal kecil yang membuat salah satu anggota keluarga merasa tertekan, sebaiknya langsung berkonsultasi dengan psikolog untuk melakukan sharing masalah yang sedang dialami sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Pengaruh acara televisi juga dapat mejadi faktor pendorong terjadinya aksi bunuh diri. Seseorang dapat mencerna bagaimana aksi-aksi tersebut dilakukan sehingga apabila mereka mengalami hal-hal yang sudah berakhiran putus asa, sewaktu-waktu mereka akan mencoba aksi-aksi tersebut. Maka dari itu dampingan dan peran orangtua sangatlah berarti, terutama untuk anak-anak dan remaja yang masih sangat butuh bimbingan.  
 Kasus tersebut dapat dicegah atau diatasi dengan memberikan Terapi Perilaku Kognitif kepada klien. Terapi Perilaku Kognitif merupakan salah satu bentuk Psikoterapi yang dapat dilakukan secara efektif untuk merubah kecenderungan klien bunuh diri dengan perilaku yang lebih efektif dengan kemampuan kontrol diri yang kuat. Dalam hal ini klien dengan penuh kesadaran merubah cara berpikirnya untuk berperilaku lebih positif. Walaupun kelemahan terapi ini adalah sesi yang panjang dan tugas-tugas yang harus dikerjakan klien, namun dengan kedisiplinan dan niat kuat yang diikat dalam kontrak di awal terapi, menjadi kunci keberhasilan terapi. Seperti yang sudah dijelaskan, ada dua terapi kognitif yang dapat digunakan untuk kasus ini yaitu Relaksasi Imagery dan Mapping Rasa Syukur.

        
DAFTAR PUSTAKA

Bellack. Alan & Hersen, Michel. Behavior Modification An Introductory Textbook. 1979. Oxford University Press, Inc

Burns, David D. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi. 1988. Penerbit Erlangga.
Goldfired, Marvin & Davison, Gerald C. Clinical Behavior Therapy. 1976. Holt, Rinehart and Winston.
Oemarjoedi, A. Kasandra. Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. 2003. Penerbit Kreativ Media Jakarta.
Bailey, H Ronald. Kekerasan dan Agresi. 1988. Penerbit: PT Tira Pustaka.


LAMPIRAN


Terapi Relaksasi Imagery